Budilaksonoputra....Salam
insfiratif, kepada bapak ibu guru seperjuangan, nasib sebagai guru dalam
memperoleh haknya dalam kepangkatan tertoreh luka yang dalam. Kenapa hal ini
terjadi karena kebijakan pemerintah yang menekankan ke seluruh guru harus
melakukan penelitian atau karya ilmiah yang harus dipublikasi dalam mengajukan
kenaikan pangkatanya. Guru bukan dosen harusnya pemerintah bisa memisahkan
keduanya tersebut
Ketua
Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo memprotes Kebijakan
baru Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mewajibkab guru meneliti dan menulis karya
ilmiah sebagai bagian kenaikan pangkat atau golongan karir guru.
"Saya
merasa prihatin. Pasti akan semakin banyak guru stress. Jadi, kebijakan itu
harus dikoreksi, diluruskan, dan diperbaiki," ucap Sulistyo di Jakarta,
kemarin.
Dia
mengatakan, jika kebijakan itu benar diberlakukan, maka lebih dari 800 ribu
orang guru dan pengawas tidak dapat naik pangkat karena kewajiban itu. PGRI
sangat mendukung upaya peningkatan profesionalitas guru.
Menurutnya,
menjadikan penelitian dan menulis karya ilmiah sebagai bahan untuk naik pangkat
dan sebagai pemberian tunjangan profesi guru sangat tidak relevan.
"Sungguh
kebijakan yang keliru, menyengsarakan guru, dan dapat berdampak pada gagalnya
pelaksanaan tugas utama guru," ujar dia. Selain itu, Sulistyo menuturkan,
guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan
pendidikan menengah.
Hal
itu diperjelas dalam Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen Nomer 14 Tahun 2015
dalam pasal 1 ayat (1). Jadi, guru berbeda dengan dosen. Meskipun sama-sama
termasuk tenaga pendidik.
"Peran
sebagai seorang guru bukan peneliti dan bukan juga ilmuwan. Kalau pun guru
harus juga melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah, maka kegiatan itu
tidak boleh menjadi kewajiban yang menghambat nasib guru jika dia sudah
melaksanakan tugas pokoknya dengan baik," paparnya.
Kegiatan
publikasi ilmiah baik meneliti dan menulis karya ilmiah beserta varian lainnya,
seharusnya hanya dijadikan sebagai pendukung untuk meningkatkan mutu
profesionalitasnya.
Berbeda
dengan dosen yang merupakan pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Hal
itu sesuai dengan UU Guru dan Dosen No 14 / 2005 dalam Pasal 1 Ayat (2).
"Nah, itu jelas. Bahwa dosen adalah ilmuwan yang harus meneliti. Kalau dia
tidak meneliti tidak boleh naik pangkat," jelasnya.
Sebab
seorang dosen disiapkan untuk bisa meneliti dan menulis karya ilmiah, yang
dibiayai. Ketika naik pangkat pun memperoleh kenaikan tunjangan fungsional yang
cukup besar. Sementara guru tidak ada.
Sebelumnya,
Perwakilan Pusat Pengembangan Program Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan Pusbangprodik Ditjen GTK Kemendikbud, Hari Amirullah
menyatakan, penulisan karya ilmiah merupakan syarat wajib bagi guru dalam
jabatan profesi. Hal tersebut sesuai dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PerMenPAN-RB) No. 16 / 2009 tentang
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
"Penulisan
karya ilmiah merupakan syarat wajib dari unsur dan sub unsur kegiatan guru yang
dinilai angka kreditnya. Dimana dalam penulisan karya ilmiah bagian dari
kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan profesi guru pada jenis publikasi
ilmiah," tegas dia. (Sumber : Jawa Pos)
Semoga
Kemendikbud berpihak ke guru PNS bukan malah mengambat karir kepangkatannya.
Karena guru bukan dosen berarti guru tidak perlu melakukan penelitian atau
membuat karya ilmiah sebagai syarat naik pangkat.
Pemerintah
melalui kemendikbud harusnya juga memangkas syarat naik pangkat yang
memberatkan guru. Seperti syarat harus 4 tahun dengan syarat lain yang
memberatkannya sehingga guru bukannya mengajar siswa disekolah tetapi hanya mengurusi
pemberkasan naik pangkat.
Bila
kemendikbud ngotot tetap syarat utama harus 4 tahun mengabdi bisa mengajukan
naik pangkat, maka kenaikan pangkatnya guru harus otomatis dengan hanya melampirkan 4
DP3/ 4 SKP. Seperti halnya yang terjadi pada pegawai struktural yang naik pangkat otomatis setiap 4 tahun sekali.
Nasib guru sebagai pegawai fungsional haruslah sama kedudukan
dengan pegawai struktural dalam kenaikan pangkatnya.
Pemerintah
lebih mepermudah Kenaikan kepangkatan PNS pegawai struktural daripada kenaikan kepangkatan
PNS pegawai fungsional (Guru).
Bagaimana
hasil SDM lulusan SD melanjutkan SMP kemudian melanjutkan Ke SMA/SMK bila guru
tidak pokus dalam pembelajaran demi melengkapi berkas-berkas persyaratan
kenaikan pangkat yang sangat banyak dan menguras pikiran ini?