Budilaksonoputra....Salam
insfiratif, semoga bapak ibu guru diberikan kemudahan dalam beraktivitas.
Jumlah guru yang tidak merata, termasuk rasio antara jumlah guru dan siswa yang
berlebih menyebabkan berbagai persoalan di lapangan. Persoalan itu misalnya,
tidak terpenuhinya kewajiban 24 jam mengajar per minggu, yang berakibat pada
tidak dibayarkannya tunjangan profesi guru (TPG). Di sisi lain, sejumlah
sekolah tidak memiliki jumlah guru yang memadai, sehingga mengganggu proses
belajar mengajar.
Pelaksana
Harian Kepala Subdirektorat Program Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Dikdas, Tagor Alamsyah mengatakan, sejak 2009, Kementerian telah
mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39
tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru.
“Semangat
dikeluarkannya peraturan itu adalah guru diperbolehkan mengajar di jenjang lain
selama dua tahun, jika dia tidak mendapat jam mengajar di sekolah asal. Selama
dua tahun berjalan itu, pemerintah kabupaten/kota harus melakukan penataan guru,” katanya dalam
diskusi pendidikan di Perpustakaan Kemendikbud, Jakarta, Rabu (24/6/2015).
Ia
menambahkan, saat itu kewenangan pengangkatan dan pemindahan guru berada di
pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat hanya dapat membuat kebijakan yang
tidak menyulitkan guru memeroleh haknya. Sayangnya, peraturan menteri ini tidak
berjalan dengan baik.
“Pada
tahun 2013, kita buatkan peraturan yang lebih tinggi, yaitu surat keputusan lima
menteri yang menerapkan sanksi jika pemerintah daerah tidak melakukan penataan
guru. Sayangnya, sanksi-sanksi ini juga tidak berjalan dengan baik,” ungkap
Tagor.
Meski
demikian, Kemendikbud tetap memberlakukan sanksi berupa penundaan penerbitan
surat keputusan (SK) TPG bagi guru yang tidak memenuhi kewajiban 24 jam
mengajar. Tagor mengatakan, informasi apakah guru sudah memenuhi kewajibannya
itu dapat terlihat melalui data pokok pendidikan (dapodik) yang dikembangkan
Kemendikbud sejak beberapa tahun lalu.
Di
tahun yang sama, pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 62 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Peratuan itu
dibuat, salah satunya, dalam rangka penataan dan pemerataan guru. Dalam
peraturan itu disebutkan, bagi guru yang dipindah ke sekolah lain dalam rangka
pemenuhan penataan dan pemerataan guru, maka ia tetap diberikan tunjangan,
meski mengajar tidak sesuai dengan sertifikatnya.
“Misalnya,
guru SMP tidak mendapat jam mengajar di sekolah itu, dia pindah ke pelosok
menjadi guru SD. Terpenuhi kewajiban jam mengajarnya, maka ia tetap mendapatkan
tunjangan,” Tagor mencontohkan.
Ia
mengaku, peraturan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun
2008 tentang Guru. Namun, lanjut Tagor, itulah solusi yang dapat diberikan
Kementerian untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Menurutnya, jika persoalan
ini dibiarkan tanpa solusi, guru yang tidak mengajar tetap menerima gaji
sehingga hanya akan menjadi beban negara. Sementara jika mengangkat guru baru,
berarti beban negara semakin besar, karena akan ada dua pembiayaan. “Kita
optimalkan saja guru yang sudah ada (berlebih) ini,” katanya.
Kini,
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengendalikan formasi dan
memindahkan guru. Itu artinya, tidak ada lagi celah bagi kabupaten/kota
mengangkat sendiri guru, sehingga berbeda dengan kebutuhan sebenarnya. (Sumber
:kemendikbud)
Semoga
informasi ini akan menambah dinas pendidikan tentang kebendaharaan keputusan tebaik syarat sertifikasi untuk guru sehingga tidak memberatkan guru tersebut....Karena
syarat sertifikasi yang ditetapkan tahun 2015 yang menjegal banyak guru. Inilah
kendala tersendiri dalam menuntaskan sertifikasi guru.